Sabtu, 21 Agustus 2010

Cerpen Cinta Tak Seharusnya Ada

Sarti anak desa yang tak kenal cinta. Bagi dia tak ada yang lebih berarti daripada menurut apa yaang diinginkan orang tua. Wajahnya yang cantik tak pernah dia rasakan sebagai hal yang istimewa. Di depan cermin dia hanya melihat bayangnya untuk sekedar memeriksa apa jilbabnya sudah pas mengena di kepala dan menutup helai helai rambutnya. Dia sekolah dan berteman dengan siapa saja dengan prestasi yang biasa saja. Masa remaja kini telah menghampirinya dan kawan kawan dekatnya kini mulai bercerita tentang perasaannya terhadap cowok kawan sekolah mereka.
Sarti tidak begitu menjiwai tentang perasaan yang dalam terhadap lawan jenis sebagaimana teman-temannya bisa bercerita dengan begitu membara ketika menyebut nama nama yang menjadi idola. Sarti sampai tidak paham dengan dirinya mengapa dia begitu biasanya tak tertarik ataupun mengidamkan seorang pria.
Pria bagi dia adalah sosok terhormat seperti ayahnya yang kadang memeluknya dengan hangat dan mencium rambutnya, dan yang setiap hari dia cium tangannya ketika berangkat sekolah. Pria bagi dia adalah laki laki matang seperti kakaknya yang selalu memberi pengertian ketika dia agak bermalas-malasan untuk belajar. Pria baginya adalah bapak-bapak guru yang selalu membawa buku dan membaca salam ketika datang dan masuk ke kelasnya. Sementara cowok seperti teman-temannya di kelas tak lebih adalah mahluk mahluk lemah yang sama seperti dia yang masih buta dan tak menguasai dirinya, bagaimana itu bisa melahirkan cinta.
Sebagai yang tercantik di sekolahnya banyak kawan laki laki ingin dekat dengannya. Tapi dari mereka tak ada yang berani mengutarakan perasaan yang sebenarnya ada dan menjadi tujuan pendekatannya. Mereka hanya berani dekat untuk menjadi kawan yang diam diam memandang wajahnya ketika dia tak menyadarinya.

Malam itu sebuah pesan yang masuk di smsnya membuat keterkejutan yang luar biasa:
“ Aku menyerah untuk mempertahankan malu, karena terpaksa aku menjadi pengecut, yang tak berani sampaikan langsung ke hadapanmu, tentang rasa cinta yang membuncah, yang tak bisa aku kuasai dan tak pantas bagiku untuk menyuarakannya sebagai gurumu yang harusnya menjadi pelindungmu…..dariku yang sangat mencintaimu, Pak Firdaus”

Hampir tak bisa terbaca selama ini bahwa baginya dia sosok yang ramah itu, sosok yang telah ia anggap sebagai bapak kedua, sosok yang pernah ia menangis di depannya, telah merampas alam pikirnya yang sedetik lalu begitu bebas terbang ke mana saja menghampiri kenyataan kenyataan yang ia susun dan terjemahkan sesuai fasenya dalam mengerti dan memahami hidup ini. Kabut kebingungan membingkai jalan yang ada di depannya, bagaimana dia harus bersikap. Untuk sesaat dia tekan tombol balas di hpnya tapi tak ada kata yang pantas mewakili hatinya sehingga ia urungkan kembali. Ia coba kembali menyusun huruf huruf dengan jari sekenanya untuk menyatakan bahwa betapa ia menghormati laki laki yang jauh di sana pada malam itu, tapi kemudian ia ragu dan mengurngkan niatnya.
Tergambarlah wajah pak firdaus yang ia kenal, dengan lafal salam yang fasih ketika beliau membuka kelas, yang kemudian disambut dengan semangat belajar membara di dada anak anak didiknya. Dalam hatinya berkecamuk antara kebanggaan dan kebimbangan. Siapa yang tak bangga dicintai orang yang dikagumi.
Dia bimbang karena sosok terhormat telah membuat dia kecewa, kenapa cara dia menyampaikan pesan seberat itu hanya melalui sms layaknya laki laki iseng yang meremehkannya. Bimbang karena dia terlalu awam untuk memahami bagaimana rasanya mencintai dan dicintai dengan hakikat yang sebenarnya.

Pagi itu seperti tak terjadi apa apa, pelajaran pertama dan kedua di kelasa tiga IPA1 adalah pelajaran yang ditunggu tunggu sebagian murid. Pelajaran matematika yang oleh kebanyakan siswa dianggap sebagai penabur racun dan membuat nafas mereka selama dua jam seakan terhenti sementara, tidak demikian di tangan pak Firdaus. Di hadapan siswa Pak firdaus menaburkan bunga bunga senyum ke seantero kelas sampai ke ruang ruang hati tersembunyi, sampai pula ke relung kesadaran seorang remaja yang cantik jelita yang pada malam sebelumnya telah terintimidasi oleh kata kata pengakuan yang absurd baginya. Sehingga kelas matematika berjalan bagai beriringan dengan angin sorga yang sejuk dan menyenangkan, dengan senyum khas lelaki matang yang tampan yang didamba remaja remaja putri muridnya sendiri. Begitu juga dengan murid murid laki laki, mereka hormat dan mencintai pak guru yang bersahaja itu, yang tak pernah meledak marah dengan kesalahan tetapi memiliki ketegasan yang bersumber dari kehalusan jiwanya. Diksi yang diucap seakan tertata, huruf dan angka terucap fasih dan keluar begitu saja nggak ada yang direkayasa. ‘Pak Firdaus memang orang baik’ begitu Sarti bergumam dalam hatinya.
Dua jam pelajaran telah berlalu dengan begitu tak terasa, pelajaran menguak hitungan itu telah sampai pada ujungnya yang harus diakhiri dengan salam untuk wajib dijawab. Pak guru kemudian segera pergi meninggalkan pintu kelas mereka. Tapi Sarti malah bingung dan tak merasa ada tanda-tanda yang berhubungan dengan kejadian semalam. “Ya Allah diakah laki laki yang bertanggung jawab, yang telah membuka cinta dan menyelubungi lagi dengan rahasia?” Sarti protes dalam hati.
Sampai waktu pulang Sarti melangkahkan kaki ke luar gerbang sekolah dan tak menunggu lama sebuah angkot berhenti tepat di depan Sarti berdiri. Sedikit membungkukkan badan dan menyelinap masuk, remaja cantik itu duduk disudut paling belakang. Matanya menerawang ke belakang menghinggapi satu persatu kendaraan yang mengikutinya. Hatinya tak tenang diliputi pertanyaan pertanyaan yang membuat dia asing menjadi dirinya sendiri. Bertanyalah batin yang bersuara lirih dari dalam, “kecewakah kau hari ini karena tidak ada kejadian berarti?”. “Ah tidak, anggaplah tadi malam itu tak pernah ada” dalam hati pula dia menegaskan. Di antara kendaraan yang mengikuti mobil angkot yang membawanya tampak ada wajah yang ia kenal agak tertutup kaca helm. Sarti semakin yakin bahwa wajah itu tak asing lagi, itulah pak Firdaus yang dari tadi tengah ada dalam kecamuk batinnya. Ya dialah pak guru yang mengusik ketenangannya. Dia menaiki kendaraan vespa yang begitu bersih dan mengkilat sebersih wajah pengendaranya. Sepertinya Sarti dapat leluasa melihat wajah gurunya itu, sementara yang di belakang tak menyadarinya karena harus konsentrasi mengemudi. Tetapi sesaat pak Firdaus melihat Sarti dan menjual senyum untuknya sebagai tanda bahwa dia ada dan melihat Sarti muridnya yang paling cantik. “Apakah aku mencintainya?” Sarti mulai berani mengungkap kesejatian perasaan yang dipunyainya. “untuk apa bertanya semua belum jelas” Sarti menepis lagi pikiran yang menurutnya sia sia.

Sore menjelang maghrib sayup sayup suara pedesaan menyambut malam. Tartil alqur’an mengalun dari masjid lewat pengeras suara. Sementara dari arah lain, sebuah mushola masih terdengar pengajian yang belum usai, dari ruang kamar ayahnya, lelaki paruh baya sedang membaca kitab kuning kedengaran sedang muthola’ah untuk persiapan pengajian nanti malam. Sarti sedang istirahat setelah mandi dan sebelumnya bersih bersih halaman rumah. Jarum pendek pada jam dinding tepat mengarah pada angka lima dan saat itu pula suara berdentang sebanyak lima kali. Sarti menonton TV untuk sekedar melihat acara infotainment meski biasanya ayah Sarti akan datang menghampirinya dan meraih remote lalu mematikan dan menasehati “Haram anakku, boleh kau nyalakan lagi untuk mendengar berita atau pengajian”.
Kedengaran pintu depan ada yang mengetuk, kakaknya yang di ruang tamu membukakan pintu karena tamunya adalah laki laki. Dan sebentar kemudian Sarti seperti mengenali suara yang sedang ada di depan pintu. “MasyaAllah, pak Firdaus?” Sarti segera lari ke kamar untuk menyiapkan bagaimana menata diri, bagaimana harus bermuka wajar, bagaimana harus bersikap santai, padahal sehari semalam dia telah dibuat tidak wajar menjadi sesuatu yang bukan dirinya.
Dia bersiap diri dan menunggu dipanggil untuk keluar menemui tamunya. Tetapi selama lima menit dia menunggu tak juga ada yang memanggil. Semakin heran dan penuh pertanyaan di dadanya. Kenapa juga kakak atau ayah sarti tidak segera memanggil keluar. Sampai akhirnya adzan maghriblah yang harus memanggilnya keluar. Sarti berdebar membuka pintu takut kalau tamu yang ada di depan ternyata masih di sana. Dan dilihatnya memang tamu itu masih di sana dan akrab sekali dengan sang kakak. Menjadi semakin gundah Sarti memikirkan segala keganjilan yang ia temukan sore itu. Ia mengambil air wudhu untuk bersiap sholat berjamaah dengan ayah dan ibunya, sementara kakaknya biasa sholat di mushola dekat rumahnya dan memang kakak Sarti adalah yang biasa mengimami jamaah masjid dekat rumah.
Setelah sholat sarti pergi ke kamarnya lagi dan seperti biasa dia tadarus Alqur’an meski hanya beberapa ayat dan dengan suara yang sangat lirih karena takut kalau terdengar dari luar. Dari suara dua orang yang semakin dekat berbincang bincang, semakin jelas dan jelas suara itu ada di balik pintu kamar sarti, mereka barusaja dari masjid dan berbincang di ruang tengah karena ibunya menjamu si tamu untuk makan malam. Dari pembicaraan mereka Sarti menyimpulkan bahwa antara guru dan kakaknya itu adalah kawan yang saling akrab. “Tapi sejak kapan?” Sarti bertanya-tanya dalam hati.
Suara pengajian ayah sarti terdengar sampai rumah, “ wa min dzalika qoulul imaam maalik wa ahmad fi adzhaaririwayat anhu biwujuubi mashi jami`irro`si fil wudhu`i. Ayahnya terdengar bersemangat menerangkan kitab “mizaanul kubro” karya SyekhAbdul wahabAsya'roni. Sementara yang di ruang tengah juga membahas apa yang mereka dengar dari corong masjid. Sarti menjadi tahu bahwa pak firdaus gurunya itu bukan hanya pandai matematika tetapi juga mengetahui betul masalah wudhu di antara pendapat pendapat madzahibul arba`ah. Setelah pengajian selesai baru Sarti sadar bahwa ayahnya pasti menjadi imam mushola dan sa’at itu dia dan ibunya akan berjamaah dengan kakaknya di rumah. Artinya sebentar lagi mau tidak mau dia harus pura pura kaget bertemu dengan gurunya itu. Semakin tidak enak perasaannya dan berdebar hatinya sampai akhirnya kakaknya memanggil dari luar, “Sarti… ayo jamaah bareng.”