Senin, 30 Januari 2012

Al Yauma

Menunggu adalah hal yang membosankan. Apalagi kalau menunggu yang namanya kematian. Lebih menyayat dari kematian itu sendiri. Vonis telah terbaca, bahwa umurnya tinggal menunggu hari. Menuju syahid di tiang gantungan, atau keburu disergap ketakutan dan kafir. Itulah dua pertanyaan yang sedang mengoyak-ngoyak dada seorang tawanan perang. Amir Al-adalah, seorang aktifis jihad di bumi tiran Palestina. Sesekali dia berani untuk menantang mati. Sesekali pula nyalinya ciut membayangkan kejamnya tiang gantungan. Apa yang dia lakukan selama ini tak kalah heroik dengan pejuang pejuang lainnya. Dia kokang senjata dan lari menyerbu maju menuju barisan tentara isra'el dengan membabi buta, tak kenal takut, atau bahkan berpikir mundur. Dalam pikirannya, dia sekaligus ingin menjemput syahid daripada hidup diinjak injak harga dirinya, diusir usir seperti ternak yang bodoh. Tapi bukan kematian yang ia dapatkan, melainkan penyergapan tiba tiba yang membuat dia tak sampai melawan. Akhirnya, dia tak kunjung pula menemukan kesyahidan. Setiap hari dicecar introgasi dan penyiksaan. Kadang terlintas ingin berontak melawan dan mati seketika. Tetapi luka luka yang dia alami menyudutkan dirinya pada sebuah kesimpulan tentang betapa dahsyatnya rasa sakit. Suatu ketika dia dicelup kedalam bak air dan hampir hampir mati kehabisan nafas. Rasa panas, sesak dan sakit di dada karena gagal nafas saat itu membuatnya trauma dan menjadikan dirinya sangat takut dengan tiang gantungan. Dibayangkan kejadian yang akan dia alami, betapa nanti ia harus melepaskan nyawa dengan beberapa saat meregang dan tak mampu menghirup udara. "Akankah aku setangguh itu bisa menghadapi kematianku?" hatinya berulang ulang menanyakan dengan pertanyaan yang sama.



Tinggal satu hari lagi. Besok lusa sudah harus ada keputusan. Akankah dia menjadi syahid atau penghianat agamanya. Untuk menguatkan keyakinannya maka dibayangkannya segala bentuk kezaliman Isra'el terhadap kaum dan keluarganya. Bagaimana gurunya, seorang syekh mutashowwif yang saleh, digelimpangkan tubuhnya di masjid yang suci, dan disembelih di depan matanya. "Oh guruku" dia menghela nafas. Terlintas juga adiknya yang kecil di pangkuan ayahnya yang harus menghembuskan nyawa berdua dalam penyerbuan yang keji dan biadap. "Bapak! Adik!" dia meneteskan air mata. Kini cukup tegar baginya untuk menghadapi tiang gantungan. Apalah artinya sakit yang sekejap dibanding durhaka pada orang tua dan berkhianat pada kebenaran yang diyakininya.



Tetapi bayangan penyiksaan muncul lagi. Oksigen yang begitu segar dipaksa berhenti untuk menyuplai nafasnya. Dia membayangkan tali yang mengikat lehernya. Tali itu begitu kuat dan semakin kuat. Dia meronta ronta. Matanya tak sanggup untuk melihat sekeliling. Lehernya semakin tercekik, dan nafas begitu berat lalu seketika berhenti. Dia kelojotan ingin sebuah pembebasan. Ingin berharap secepatnya mati. Tetapi kesadarn masih tetap dia rasakan disertai panas yang membakar paru parunya. "Tuhaaaaaan... aku tak sanggup!" dia berteriak dengan penuh cucuran keringat.



Akhirnya dia sholat dua rokaat. Dan sujud penuh tawakkal. Diserahkan semuanya. Tentang kuat atau tidak kuat. Tentang iman atau kufur. Tentang syahid atau murtad. "La haula wala quwwata illa billah". Dia melihat gurunya datang. Seakan dia lupa bahwa gurunya itu sudah mati disembelih oleh mereka. Dia dituntun oleh gurunya itu untuk naik ke sebuah istana. "Lihatlah ayahmu, adikmu, ibumu.." gurunya berkata. Dia melihat mereka dengan penuh senyum dan damai. Sekarang lihatlah di sana. Ternyata dia telah melihat wujudnya sendiri tergantung di tiang gantungan. "Sudah berapa lama aku di sini?" dia heran dan bertanya. Ada salam yang menggema "salamun qoulan mir robbirrohim....